Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang minus selama dua kuartal berturut-turut. Kontraksi pertama terjadi pada kuartal II lalu, dengan kinerja ekonomi minus 5,32 persen year on year (yoy). Kontraksi tersebut berlanjut di kuartal III dengan angka minus sebesar 3,49 persen (yoy).
Meski di awal-awal kemunculan virus corona baru ini, pemerintah terkesan menyepelekan, namun seiring meningkatnya angka kasus positif Covid-19 berbagai upaya pencegahan penyebaran infeksi terus dilakukan. Biaya yang harus disiapkan pemerintah memang tidak sedikit.
Untuk kebutuhan penanganan dampak pandemi Covid-19 pada tahun ini pemerintah sudah menyiapkan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun. Hingga 14 Desember 2020, realisasi penyerapan anggaran PEN ini baru mencapai Rp 481,6 triliun atau 69,3 persen dari pagu anggaran PEN.
Anggaran PEN yang telah disiapkan pemerintah ini di antaranya dialokasikan dalam bentuk bantuan subsidi tagihan listrik, subsidi kuota internet dan subsidi gaji. Dengan adanya bantuan-bantuan subsidi ini diharapkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Membaiknya daya beli masyarakat pada akhirnya bakal mendorong aktivitas industri manufaktur hingga usaha skala kecil menengah di dalam negeri. Jika kegiatan ekonomi nasional berjalan as usual, maka pertumbuhan ekonomi pun bakal terdongkrak.
Selama ini pondasi ekonomi Indonesia ini banyak bergantung pada harga komoditas ekspor utama seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). Namun seiring merosotnya permintaan global terhadap batu bara dan CPO, pemerintah tak lagi mengandalkan harga komoditas untuk mengerek pertumbuhan ekonomi nasional.
Kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih mengandalkan mesin domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun di masa pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi motor penggerak utama pertumbuhan, justru mengalami penurunan paling tajam.
Pada kuartal pertama tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan signifikan menjadi 2,84 persen (yoy). Padahal, pada kuartal keempat tahun 2019 konsumsi rumah tangga masih tumbuh 4,97 persen.
Pada kuartal II, konsumsi rumah tangga minus 5,52 persen (yoy). Lesunya konsumsi rumah tangga masih berlanjut di kuartal III, dimana tercatat masih minus 4,04 persen (yoy).
Tahun 2020 tinggal menyisakan hari kurang dari sepekan untuk kita menuju ke tahun yang baru, 2021. Hingga saat ini kita masih menghadapi pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir.
Kendati beberapa perusahaan farmasi global sudah berhasil menciptakan vaksin Covid-19, namun keampuhan vaksin-vaksin tersebut belum teruji. Belum lagi, munculnya varian baru dari virus penyebab penyakit Covid-19 ini.
Dengan besarnya kontribusi konsumsi rumah tangga pada struktur PDB Indonesia, maka menjaga daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang penting dilakukan dalam kondisi tidak normal seperti saat ini. Hal ini sejalan dengan proyeksi Asian Development Bank (ADB) mengenai ekonomi Indonesia di tahun depan.
ADB memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3 persen pada 2021. Menurut ADB, pemulihan ekonomi Indonesia tahun depan akan didukung belanja rumah tangga dan perekonomian global yang membaik sehingga meningkatkan investasi.
Peran penting konsumsi rumah tangga dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan juga disinggung dalam Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Economic Outlook December 2020. Menurut proyeksi OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 berada di level empat persen.
Pertumbuhan tersebut dipengaruhi tren pemulihan yang parsial seiring dengan tingginya pelonggaran protokol kesehatan. Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat dan kepercayaan bisnis masih rendah.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.