Masjid dan Gereja Jadi Simbol Kebersamaan di Solo

Masjid dan Gereja Jadi Simbol Kebersamaan di Solo

Masjid dan Gereja Jadi Simbol Kebersamaan di Solo

Cerita Seru | Hidup berdampingan adalah impian semua umat, tidak terpecah belah, tidak ada jarak, sehingga tidak ada saling curiga. Seperti yang digambarkan dalam sebuah bangunan tua di Solo, Jawa Tengah.

Bila anda berkunjung ke Solo, anda akan melewati jalan Gatot Soebroto, disana anda akan melihat simbol kerukunan antar umat beragama, dimana terdapat dua bangunan tinggi yang letaknya erat berdampingan. Keduanya merupakan tempat peribadatan, yakni Masjid dan Gereja.

Mungkin hal itu bukan pemandangan baru, bahkan di hampir setiap wilayah di Indonesia ada, tetapi tentunya dengan adanya kedua bangunan ini, akan menambah warna baru dalam kerukunan antar umat beragama. Bangunan gereja yang dinamakan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Djoyodiningratan lebih awal berdiri dibandingkan Masjid Al Hikmah.

Menurut cerita pemimpin GKJ Djoyoningratan, Pendeta Widi Atmo Herdjanto, bangunan gereja itu didirikan tahun 1939 oleh sekelompok orang Kristen dari Danukusuman, Solo.

Tanah gereja itu semula milik H. Zaini yang kemudian dibeli untuk mendirikan gereja GKJ Djoyodiningratan. Sejak awal, mereka sudah mengetahui jika kelak tepat disamping gereja akan dbibangun mushola.

Selanjutnya, delapan tahun kemudian atau tahun 1947 mushola itu benar-benar berdiri. Sejak saat itulah kerukunan diantara dua pemeluk keyakinan yang berbeda ini terjalin seperti halnya kerukunan yang diperlihatkan oleh kedua bagunan itu.

Seiring dengan perkembangan jamaah di mushola tersebut, kemudian mushola itu pun berubah menjadi masjid. Dan pihak gereja pun tidak keberatan. Seperti dikatakan ketua takmir masjid Al Hikmah, Muhammad Nasir Abu Bakar, pihaknya waktu akan membangun masjid juga berkomunikasi dengan Pendeta GKJ.

Karena kedua bangunan tersebut awalnya merupakan satu pemilik tanah, maka tidak heran jika nomor masjid dan gereja di jalan Gatot Soebroto itu sama yaitu bernomor 222. “Meskipun nomor sama tetapi pak pos tidak bakal salah mengantar surat,” kata Herdjanto dengan nada bercanda ketika ditemui VIVAnews di Solo, Rabu, 26 Agustus 2009.

Kerukunan dan kedamaian yang diperlihatkan kedua bangunan tersebut juga ikut ditiru oleh masing-masing umatnya. Setiap kali hari raya tiba, pihak takmir masjid selalu meminta ijin kepada pengurus gereja untuk meminjam halamannya sebagai tempat sholat ied.

Bahkan, sebelum pelaksanaan sholat ied, para jemaat gereja akan berbaur dengan jamaah masjid untuk ikut membersihkan halaman yang akan digunakan sholat ied. Malahan, sewaktu hari raya umat Islam tersebut jatuh pada hari Minggu, pihak gereja  bisa meniadakan maupun menunda kebaktian pagi yang dilaksanakan pukul 06.30.

Begitupun sebaliknya, seperti diakui Nasir, setiap kebaktian hari Minggu, biasanya kendaraan bermotor milik jemaat akan diparkir didepan masjid. Selain itu, yang bertugas sebagai tukang parkir adalah para remaja masjid. Hal ini dilakukan agar kalangan jemaat bisa tenang dan khsuyuk dalam beribadah.

Bangunan masjid dan gereja yang berdampingan erat tersebut juga terlihat dari ruangan pengimaman masjid yang mana  dinding depannya merupakan dinding rumah pendeta. Bahkan, jendela rumah tersebut terlihat melongok diatas tempat pengimaman.

“Pengurus masjid dulu pernah bilang kepada pak pendeta kalau sisi atas pengimaman itu akan ditutup tembok tidak masalah. Sebab itu, merupakan tanah milik gereja. Tetapi, hingga saat ini malah tetap dibiarkan terbuka,” terang Nasir sembari menunjukkan jendela itu.

Mengetahui letak rumah pendeta yang tepat berada didepan pengimaman, maka pengeras suara yang dulu terpasang diatas rumah tersebut pun dipindah. Sebab, suara yang keluar dari pengeras suara itu menganggu pendeta. Untuk itu, dengan penuh kesadaran pengurus takmir memindah pengeras suara tersebut.

Komunikasi ini selalu intensif dilakukan oleh kedua pimpinan rumah ibadah tersebut. Ketika lebaran tiba, pendeta bersilaturahmi ke pengurus takmir masjid. Sebaliknya, ketika ada penasbihkan  pendeta, para pengurus takmir masjid juga diundang lengkap dengan pakaian khas Islam. “Kerukunan ini sangat indah,” ucap Herdjanto dengan sykur.

Untuk menandai kerukunan diantara dua keyakinan yang berbeda itu, tugu lilin yang merupakan tugu perdamaian pun dibagun di dekat tempat wudlu perempuan di sebelah selatan masjid, berhimitan dengan bagunan gereja. Bangunan yang terbuat dari beton itu tingginya sekitar 150 sm dengan bagian ujung lancip.

Prasari tugu tersebut seperti dijelaskan Nasir mempunayi makna yang begitu dalam yaitu jangan sampai terjadi permusuhan. Peliharalah kedamaian itu selamanya.

Sekian tentang Masjid dan Gereja Jadi Simbol Kebersamaan di Solo.

Terima kasih.

thestresslawyer.com

Comments

Tinggalkan Balasan