JANGAN “AHOK” KAN DJAROT
Kini status Djarot Saiful Hidayat telah sah diusung oleh PDI Perjuangan sebagai jagoannya dalam perhelatan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Tinggal menunggu siapa kira-kira yang bakal menjadi pendamping yang tepat sebagai calon wakil gubernur yang akan dipilih oleh Djarot.
Meskipun tidak ada jaminan kepastian Djarot pasti menang dalam pilkada tersebut, namun tampaknya kehadiran Djarot dalam pesta demokrasi tersebut cukup memberikan euforia yang positif dari masyarakat Sumatera Utara, walaupun belum ada hasil survey yang valid yang dapat menunjukkan angka elektabilitas Djarot di Sumut.
Namun sebagaimana yang telah saya kemukakan di dalam tulisan sebelumnya, di lini masa berbagai sosial media telah muncul berbagai dukungan dari masyarakat sumatera utara khususnya orang-orang batak di perantauan. Entah apa yang membuat Djarot begitu spesial di hati mereka. Saya berpandangan bahwa euforia itu sedikit banyak dipengaruhi oleh Ahok effect yang sebelumnya kalah dengan tragedi di Pilkada DKI Jakarta.
Namun harus kita akui bahwa Djarot bukanlah pendatang baru di dunia perpolitikan tanah air. Dan tidak bisa juga disebut sebagai amatiran dalam hal memimpin. Latar belakang beliau yang dapat dikatakan cukup sukses sebagai mantan Bupati Blitar selama 2 periode ditambah dengan wakil gubernur DKI Jakarta dan gubernur DKI Jakarta walau hanya seumur jagung.
Ketika Ahok divonis 2 tahun penjara, Djarot cukup mendapat apresiasi positif. Kesetiaan dia dalam persahabatannya dengan Ahok dan keluarga membuat masyarakat harus mengacungkan jempol. Hal itu pun tetap ditunjukkannya dengan kebersamaan Djarot dan isteri bersama-sama dengan ibu Veronica menghadiri resepsi pernikahan Kahiyang Ayu putri Presiden Jokowi.
Namun Djarot bukanlah sesosok pemimpin yang bermodal pencitraan semata, namun karya-karya dapat kita lihat dengan nyata. Sehingga cukup logis jika saya pribadi sebagai putra asli sumut (meski tak lagi memiliki hak suara) bersedia menitipkan Sumut kepadanya.
Sayangnya disamping adanya dukungan positif terhadap Djarot, ada saja suara-suara sumbang meski kecil namun cukup mengganggu. Isu putra daerah menjadi isu yang dihembuskan untuk menjegal Djarot. Padahal Djarot bukan satu-satunya calon gubernur yang bukan putra daerah. Edy Rahmayadi contohnya, dia adalah putra Aceh. Tetapi baik Djarot maupun Edy, menurut saya sama-sama punya hak yang sama menjadi calon gubernur di manapun di seluruh wilayah Indonesia ini.
Otonomi daerah tidak memberi batasan bahwa hanya putra daerah asli lah yang dapat berdiri sebagai calon pemimpin di daerah tersebut, oleh karena itu hal-hal semacam ini tidak lah seharusnya dijadikan isu dalam pemilihan kepala daerah.
Isu putra daerah menurut pendapat saya, masuk dalam kategori SARA yang seharusnya dihindarkan. Sumut adalah provinsi yang multi etnis sehingga persatuan harus diutamakan. Sayangnya isu seperti ini juga dihembuskan oleh saudara-saudara saya yang batak.
Black Campain yang menyerang Ahok karena agama dan ras nya, sangat memuakkan dan mencoreng demokrasi kita. Berapa banyak kekecewaan dan perpecahan di negeri ini pasca pilkada DKI Jakarta. Jangan sampai konfik dan isu SARA sebagaimana di Pilkada DKI kita bawa masuk ke Pilkada Sumut.
Anda tidak harus mendukung Djarot, Edy atau calon lainnya yang bukan putra daerah sumatera utara. Jika tidak sepakat dengan program yang ditawarkan, anda silahkan memilih calon lain yang menurut anda programnya sesuai dengan pandangan anda, namun membenturkan calon dengan isu sara jelas-jelas sangat memuakkan.
Saya hanya ingin menghimbau, jangan sampai anda karena fanatisme dan primordial yang berlebihan anda meng “Ahok” kan Djarot atau calon lainnya yang bukan putra daerah.
Sekian tentang JANGAN “AHOK” KAN DJAROT.
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.